Analisis Cerpen “ROBOHNYA SURAU KAMI” Karya A.A. Navis
Salah satu karya A.A. Navis yang monumental adalah cerpen yang berjudul “Robohnya Surau Kami”. Kalau dilihat dari judulnya, maka orang akan berpikir bahwa ceritanya berisikan nilai-nilai keagamaan, atau dengan kata lain adalah cerpen relijius. Akan tetapi setelah membaca cerpen ini maka, pembaca akan menemukan isi sebaliknya. Secara keseluruhan, cerpen ini adalah berisikan kritik terhadap praktik agama di Indonesia. Walaupun terkesan surrealis, karena adanya dialog antara karakter Tuhan, dengan karakter Haji Saleh. Akan tetapi, dialog tersebut juga menyimpan kandungan kritik implisit terhadap realitas praktik keagamaan di Indonesia.
Praktik keagamaan seperti apa yang coba dikritik oleh A.A Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami?” Jawabannya adalah praktik keagamaan yang membuat orang menjadi malas, dan meninggalkan kehidupan duniawi. Dalam cerita memang dikisahkan tentang seorang pemuka agama, yang meninggalkan keluarganya serta kehidupan duniawinya demi menyembah kepada Tuhan, yang dalam hal ini adalah Allah SWT.
Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis ini dimulai dengan penggambaran latar tempat cerpen itu, yaitu sebuah surau yang berada di kampung si penulis, yang berjarak sekitar satu kilometer dari pasar. Ini adalah gambaran budaya Minangkabau, bahwa pasar adalah pusat perekonomian. Selain pasar ada surau, yang merupakan cerminan relijiusitas masyarakat Minangkabau yang mayoritas beragama Islam. Kakek yang menjadi tokoh utama cerpen ini adalah seorang Garin atau penjaga surau, yang menjalani hidup yang asketis, yaitu bekerja tanpa pamrih, dan tidak mementingkan masalah keduniawian, ini terlihat pada deskripsi pekerjaan si kakek dalam cerita:
“Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum” (AA. Navis, 2007:1-2).
Bagian berikutnya adalah informasi bahwa si kakek ternyata telah meninggal, karena sebuah cerita yang diceritakan oleh Ajo Sidi (pembual) yang merupakan seorang pencerita.
Yang menarik adalah mengapa seorang yang telah menjalani hidup yang asketis yang relijius ini, bisa meninggal hanya karena cerita karangan seorang pembual? Isi cerita Ajo Sidi, tokoh si Kakek sebenarnya adalah gambaran dari Haji Saleh. Walaupun beda nama, tetapi tingkah lakunya sama. Si Kakek dan Haji Saleh sama-sama memokuskan hidupnya untuk kehidupan akhirat, dapat kita pahami dalam kutipan cerita berikut ini, “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala.” (Navis, 2007). Ini perkataan si Kakek, tentang deskripsi kehidupannya. Sementara untuk Haji Saleh, kita bisa mencermati dialog antara Haji Saleh dengan Tuhan untuk mengetahui informasi lebih jauh tentang Haji Saleh:
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’ ‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain?’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’” (Navis, 2007:6-7).
Begitu dialog antara Haji Saleh dan Tuhan, yang mencerminkan deskripsi pekerjaan Haji Saleh di dunia. Bagian berikutnya adalah Tuhan memerintahkan Haji Saleh untuk dilempar ke neraka. Di neraka ternyata Haji Saleh bertemu dengan teman-temannya di dunia yang juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukannya di dunia, yaitu sama-sama taat beribadat pada Tuhan yang mereka yakini. Karena merasa tak terima, maka mereka bersama-sama menghadap Tuhan, untuk protes dan menanyakan alasan mengapa mereka dimasukkan ke neraka.
Ketika bertemu Tuhan, Haji Salehlah yang menjadi juru bicara para pemrotes. Dia menyebutkan bahwa mereka semua adalah umat yang taat beribadat, dan lainnya, untuk lebih lengkapnya, mari kita lihat perkataan Haji Saleh tersebut:
“Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.” (Navis, 2007:9-10)
Intinya Haji Saleh menuntut agar dia dan teman-temannya dimasukkan ke surga, sebagai balasan dari ketaatan mereka beribadat di dunia. Hanya saja pada bagian cerita berikutnya Tuhan memberikan penjelasan yang sama sekali berbeda dengan keinginan Haji Saleh dan kawan-kawan. Lebih tepatnya penjelasan Tuhan tersebut adalah berupa kritik terhadap metode mereka beribadat kepada Tuhan di dunia. Untuk lebih lengkapnya mari kita lihat argumentasi Tuhan tersebut:
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak.
Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!” (Navis, 2007:11-12).
Argumentasi Tuhan ini sebenarnya bukan hanya sebuah kritik terhadap praktek keagamaan Haji Saleh dan kawan-kawan, melainkan terhadap praktek keagamaan masyarakat Indonesia, yang tidak mengerti esensi dari ajaran agama yang mereka yakini. Kalau dilihat realitas Indonesia, kita akan menemukan banyak sekali orang yang pintar mengaji dan rajin sholat, akan tetapi tidak paham isi Al Qur’an dan bacaan sholat yang sering mereka baca tersebut.
- Pembacaan dan Analisis
Unsur-unsur Intrinsik
1). Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya. Karena ia terlalu fokus untuk kehidupan akhiratnya demi mencapai surga-Nya Allah SWT.
2). Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
- jangan bangga oleh gelar dan nama besar yang disandang,
- jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki,
- belajar bermuhasabah dalam menjalani kehidupan,
- jangan cepat marah, dan
- jangan egois.
3). Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
4). Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
5). Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, Haji Soleh, Tuhan dan Malaikat-Nya.
- Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
- Ajo Sidi adalah orang yang suka membual.
- Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
- Haji Soleh yaitu orang yang selalu mementingkan diri sendiri.
- Tuhan yang selalu tahu akan hamba-Nya, dan
- Malaikat yang selalu patuh dan taat kepada Allah.
6). Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan, sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
7). Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan ia sangat cerdas dalam memergunakan kata-kata tersebut, sekilas pembaca tidak mengetahui isi cerita cerpen “Robohnya Surau Kami” ini.
- Kesimpulan
Secara umum, cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis ini memiliki cerita yang sangat unik dan menarik. Cerita ini dikemas secara sederhana, namun penuh makna dan kritik atas kehidupan manusia pada jaman modern ini. Di mana manusia berlomba-lomba untuk memenuhi kepentingannya sendiri, bahkan dalam masalah agama. Manusia menjalankan agamanya dengan baik dan taat, agar dirinya dapat masuk surga. Manusia memuji Tuhannya tidak lagi dengan hati yang tulus karena mencintai-Nya, melainkan agar memperoleh pahala dan semakin mudah jalannya untuk masuk ke surga. Sangat mengenaskan dan memrihatinkan memang, tapi itulah kenyataan pada masa kini yang berhasil ditangkap oleh A.A. Navis dan dituangkankannya ke dalam cerita ini.
Oleh : Halim
Referensi:
AA Navis. 1984. Robohnya Surau Kami. Kumpulan Cerpen. Jakarta.
0 Response to "Analisis Cerpen “ROBOHNYA SURAU KAMI” Karya A.A. Navis"
Posting Komentar