Makalah Tentang Sumber Hukum Islam


  1. AL QUR’AN
Al qur’an menurut bahasa berarti, bacaan atau yang dibaca, menurut istilah Al-qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Rasulullah melalui Malaikat Jibril (Ruhul Amin). Al qur’an menggunakan bahasa Arab dan merupakan mu’jizat bagi rasul. Orang yang membaca dan memahami Al qur’an akan mendapatkan pahala dan Hidayah dari Allah SWT.
Al qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dalam menetapkan segala keputusan, seorang muslim harus berpegang teguh kepada Al Qur’an dan tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an . firman Allah SWT dalam Qu’an Surat An’Nisa ayat 59.
Artinya:   Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) (An’Nisa 59).
Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan kepada setiap orang beriman agar taat kepada Allah SWT maksudnya dengan mengikuti segala perintahnya dan menjauhi segala larangan-Nya sebagaimana yang tercantum dalam Al qur’an. Dengan demikian maka Al qur’an menjadi pedoman dalam kehidupan dan sumber hukum islam. Isi kandungan Al qur’an antara lain :
  1. Hukum yang berkaitan dengan akidah, yakni ketetapan tentang wajib beriman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kita-kitab, para rasul, hari akhir, dan qadha dan qadhar-Nya.
  2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak (budi pekerti), yakni ajaran agar orang muslim memiliki sifat-sifat yang mulia dan menjauhi segala sifat tercela.
  3. Hukum yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia, terdiri dari ucapan, perbuatan perjanjian dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan amal perbuatan ini terbagi menjadi dua yaitu :
  1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti, shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya.
  2. Hukum yang berkaitan dengan amal pemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian-perjanjian, hukuman (pidana) perekonomian, pendidikan, ilmu pengetahuan, perkawinan dan lain sebagainya.
Perlu dikerahui bahwa ketetapan hukum dalam Al qur’an itu ada yang bersifat terperinci dan ada pula yang bersifat garis besarnya saja.
Ayat ahkam (hukum) yang bersifat terperinci, umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan, dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abudi (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup jalan bagi akal untuk bisa memahaminya sesuai dengan perubahan zaman.
Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan perekonomian, ketatanegaraan, undang-undang, dan lain sebagainya. Ayat-ayat Al qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya memuat kaidah-kaidah yang umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya agar bisa ditafsirkan (dipahami) sesuai dengan perkembangan zaman, karena masalah-masalah tersebut terus berkembang.
Dengan kata lain ayat ahkam mengenai kemasyarakatan bersifat umum (tidak rinci) sedangkan yang mengenai ibadat lebih rinci. Disinilah letak hikmanya, aturan ibadah tak boleh berubah sepanjang masa, sedangkan aturan yang menyangkut hidup kemasyarakatan, tafsirannya dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasihat, tamsil, kisah, sejarah dan lain-lain. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali

  1. AL HADIS
Al Hadis ialah segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Al Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT mewajibkan agar kita menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan apa-apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya.
Firman Allah SWT : “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu ,maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al Hasyr 7)
Al Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Hadis sendiri. Sabda Rasulullah SAW :Aku tinggalkan dua perkara untukmu sekalian; kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulnya. (H.R. Imam Malik)

Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua berfungsi :
  1. Memerkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedua-duanya (Al Qur’an dan Al Hadis) menjadi sumber hukum.
  2. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan haji, semuanya itu bersifat garis besar, misalnya tidak menjelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara melaksanakan shalta, tidak merinci batas mulai wajib zakat, dan juga tidak memaparkan cara-cara melaksanakan haji. Tetapi semua itu telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam Hadisnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi.
Artinya:   Diharamkan bagimu (memakan) bangaki, darah dan daging babi … (Al Maidah:3)
Dalam ayat tersebut, bangkai adalah haram dimakan, tetapi tidak dikecualikan bangkai yang mana yang boleh dimakan, sehingga kalau hanya berpegang kepada ayat tersebut saja maka seluruh bangkai tidak boleh dimakan. Kemudian datanglah Hadis menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW, yang artinya “Dihalalkan dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa. (H.R. Ibnu Majah dan Al Hakim)
  1. Menetapkan hukum atau atauran yang tidak didapati dalam Al Qur’an.
Misalnya cara mensucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuh tujuh kali, salah satu dicampur dengan tanah.
Dengan demikian berpegang kepada Al Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua itu, maka menjadi lengkaplah ajaran Islam dan menjadi mudahlah seseorang untuk melaksanakan ajaran Islam.

  1. IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB
  1. Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:

اَ ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.
Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Adapun pengertian ijtihad ialah Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
  1. Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
  1. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
  2. Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab saja.
Menganut suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andai kata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.
  1. IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
a. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
b. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
c. Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memeroleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
d. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan.
e. Al-Istihsan
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
f. Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.
  1. IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
  1. Al-Qur’an
  2. Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
  3. Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadis apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
  4. Qiyas
  5. Istishlah (Mashalihul Mursalah)
    1. IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
  1. Al-Qur’an
  2. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadis itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
  1. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
  1. Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
  1. Istidlal (Istishhab)

  1. IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
  1. Nash Al-Qur’an dan Hadis, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memerhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memerhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
  2. Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memeroleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
  3. Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
  4. Hadis Mursal atau Hadis Daif. Hadis Mursal atau Hadis Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
  5. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memeroleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.
Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadis dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.

References
KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.
Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990
Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

0 Response to "Makalah Tentang Sumber Hukum Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel