Analisis Essay Goenawan Muhamad “Setelah Menara Babel”

Essay – Membaca sastra sering disebut membaca estetis atau membaca estetis atau membaca indah yang tujuan utamanya adalah agar pembaca dapat menikmati, menghayati, dan sekaligus menghargai unsur-unsur keindahan yang terpaksa dalam teks sastra (Aminudin, 1984). Untuk menikmati, menghayati, dan menghargai unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam teks sastra, pembaca terlebih dahulu perlu memahami “Apakah sastra itu”?
Sastra berasal dari kata kesusastraan (susastra) Su berarti indah atau baik. Sastra berarti lukisan atau karangan. Susastra berarti karangan yang baik atau indah. Kesusastraanberarti segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Berikut bebrapa pendapat mengenai pengertian sastra menurut para ahli sastra, diantaranya.
  1. Menurut Terry Eagleton (2006:14-16)pada mulanya sastra adalah imaginatif, sesuatu yang fiksi yang tidak ada dalam kehidupan yang nyata. Namun, pada abad ke-17 Eagleton melihat bahwa karya imaginatif itu tidak sepenuhnya benar karena perbedaan fiksi dan fakta mulai dipertanyakan.
  2. Panuti Sudjiman (1986 : 68),sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya.
  3. Plato dan Aristotelesberpendapat bahwa Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide. Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.
  4. (Sapardi, 1979: 1)Memaparkan bahwasastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan social.
  5. (Panuti Sudjiman, 1986 : 68)mengungkapkan bahwa Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya.
  6. Menurut saya, sastra merupakan suatu karya cipta pola pikir manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan, gerakan atau sebuah karya lainnya yang menggambarkan sipenulis baik kondisi dan situasi disekitarnya, yang hasilnya kita sebut sebagai sebuah karya sastra.
  7. Karya sastra merupakan salah satu alternatif dalam rangka pembangunan kepribadian dan budaya masyarakat yang berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat (Kuntowijoyo, 1987:15).
Teks sastra tidak hanya disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis. Sastra berfungsi memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Terkadang dengan membaca sSastra justru muncul ketegangan-ketegangan, itu berarti emosi, pikiran serta perasaan kita telah hanyut dalam cerita yang kita baca. Dan dari ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah justru kemungkinan muncul kenikmatan estetis dan bersifat menghibur (Budianta, dkk., 2002).
Mengapa sastra harus menghibur? Menghibur bukan berati membuat pembaca terpingkal-pingkal menahan ketawanya. Namun, lebih pada kepuasan batin ketika mengikuti alur cerita atau menikmati keindahan penggunaan bahasa dalam memaparkan aspek-aspek kehidupan. Memang, ada pengarang yang merepresentasikan karyanya sebagai hiburan dalam artian membuat pembaca hanyut dalam tawanya. Akan tetapi, karya-karya seperti ini terkadang dicap bukan sebuah karya sastra.
Sastra juga berpungsi memberikan kemanfaatan secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memeroleh wawasan yang dalam tentang maslah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus (Luxemberg, 1989).Menurut Herman J. Waluyo (2006)menyatakan bahwa sastra berfungsi sebagai wahan kataris, yaitu pencerahan atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat terhadap keterbatasan individu yang seringkali melabrak posisi Tuhan.
Selain itu sastra juga berfungsi sebagai pembaharu. Mengapa sastra berfungsi sebagai pembaharu? Sastra adalah ruang dinamis yang terus bergerak. Akan ada sesuatu yang baru dalam dunia kesastraan, dan itu terbukti kalau kita analisis, dari bahasa maupun diksi yang digunakan si penulis jaman dahulu dengan si penulis jaman sekarang. Keadaan yang dinamis ini tentunya tidak akan menciptakan kondisi yang adem ayem saja,tetapi sastra itu bergerak dan berpikir. Maka, polemik dan kritik adalah hal yang biasa dalam dunia sastra (Wikipedia, 2009).
Dalam Pembahasan kali ini saya akan me-reviewkembali,menganalisa essay by Goenawan Muhamad yang berjudul “Setelah Menara Babel”. Sebelum kita menganalisanya, saya akan memerkenalkan sedikit tentang Goenawan Muhamad.
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.
Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI.
Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.
Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.
Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
  1. Pembacaan dan Analisis
Dalam menganalisa karya sebuah sasta, tentunya seorang pembaca harus paham dan tahu unsur-unsur yang terdapat dalam sastra, baik unsur instrinsik maupun ekstrinsik, seperti tema, gaya bahasa, sudut pandang, tokoh, penokohan, diksi atau hal yang lainnya. Akan tetapi, dalam peanganalisaan kali ini saya akan membahas tema, konteks, gaya bahasa (bahasa figurative, diksi)
  1. Tema
Setelah saya membaca keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa temanya, adalah
Simbolisasi Keangkuhan Manusia Terhadap Tuhan”
Itu terbukti dari sikap  mereka  dalam  membangun Menara Babel. Menara ini melambangkan  kesombongan dan kemegahan diri mereka.  Dimana mereka tinggi hati dan merasa bangga dengan kekuasaan sehingga memisahkan dirinya dari Tuhannya. Keinginan  dan hasrat yang tersembunyi dalam penjelmaan sebagai manusia mereka berusaha dalam membangun menara babel yang mencakar langit kekuasaan tertinggi Allah dan menunjukannya kepada Allah, bahwa mereka sanggup dan  tidak membutuhkan Allah.
  1. Konteks
pada saat zaman dahulu dimana Goenawan Muhamad ini, hidup pada zaman rezim Soeharto tidak mengenal adanya kebebasan Pers, setiap warga negara hanya sekedar tunduk patuh terhadap ketentuan pemimpin dan tidak boleh mengetahui hal sedikitpun tentang ketatanegaraan yang ada dalam parlemen pemerintahan saat itu. Mereka berpikir dengan adanya kebebasan pers semua warga negara akan mengetahui setiap permasalahan yang ada didalam kepemimpinan dan ketatanegaraan Soeharto, dan itu menggambarkan bahwa Soeharto sebagai seorang pemimpin dan manusia biasa, pada masa itu seolah dia yang punya kewenangan, kejam dan terkenal sangat angkuh.
  1. Gaya Bahasa
Menurut saya, gaya bahasa merupakan bahasa kiasan yang digunakan penulis dalam karya sastranya, ada penulis yang karya sastranya mudah langsung dipahami oleh si pembaca dengan bahasa sehari-hari dan ada yang juga penulis yang menggunakan gaya bahasanya dalam karyanya harus memerlukan pemikiran yang lebih bagi si pembaca untuk memahaminya.
Dalam gaya bahasa saya akan menjelaskan bahasa figuratif dan diksi yang digunakan Goenawan Muhamad dalam karyanya “Setelah Menara Babel”.
  1. Diksi
Diksi merupan pilihan kata yang digunakan penulis dalam sebuah karya sastranya, Diksi yang digunakan Goenawan Muhamad dalam karyanya Setelah Menara Babel, menurut saya sangat rumit untuk langsung dipahami. Banyak sekali kata-kata yang digunakannya untuk orang awam seperti saya sangat sulit untuk langsung bisa dipahami. Akan tetapi kita harus menganalisa kata perkatanya supaya kita bisa memahami karya tersebut.
  1. Bahasa Figuratif
Menurut saya, Bahasa Figuratif adalah sebuah bahasa kiasan yang menggambarkan suatu bentuk keadaan atau lain sebagainya, yang digunakan penulis dalam sebuah karyanya.
Menurut Abrams (1981:63) bahasa figuratif (figuratif language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari (ordinary), penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata, suatu penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus.
Dalam cerita tersebut Goenawan Muhamad menggunakan bahasa kiasan berupa sindiran (ironi), karena Goenawan Muhamad ini seorang penulis yang hidup dizaman pemerintahan Soeharto yang tidak mengenl kebebasan pers, tetapi dia berani menyindir kepemimpinan Soeharto pada saat itu, terbukti pada pada tahun 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.
  1. Kesimpulan
Setelah saya membaca dan menganalisanya, dapat disimpulkan bahwa essayGoenawan Muhamad yang berjudul Setelah Menara Babel ini, adalah sebuah gambaran kepemimpinan Soeharto pada masa pemerintahannya, yang sangat mementingkan kepentingan dirinya dan begitu angkuhnya. Kepemimpinan Indonesia Indonesia pada masanya dipegang sepenuhnya oleh Soeharto, tidak pernah melihat dan memerdulikan setiap aspirasi warga negaranya.
Oleh : Halim
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. 1984. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Bandung: CV Sinar Baru dan YA 3 Malang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi keempat, 2008. Jakarta: Balai Pustaka.
Teeuw, A. 1998. Sastra dan Ilmu Sastra.Bandung: PT Karya Nusantara.
Sugono, Deni. 2011. Buku Praktis Bahasa Indonesia.Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jauhari, Heri. 2010. Pedoman Penulisan KARYA ILMIAH. Bandung: CV Pustaka Setia.

0 Response to "Analisis Essay Goenawan Muhamad “Setelah Menara Babel”"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel